BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam pembicaraan
mengenai variasi bahasa kita berbincang tentang satu bahasa yang memiliki
berbagai variasi berkenaan dengan penutur dan penggunaannya secara konkret.
Begitulah dalam pembicaraan variasi bahasa itu kita berkenalan dengan idiolek,
dialek, sosiolek, kronolek, fungsiolek, ragam, dan register. Pembicaraan
tentang variasi bahas itu tidak lengkap bila tidak disertai dengan pembicaraan
tentang jenis bahasa yang juga dilihat secara sosiolinguistik. Hanya bedanya
dalam pembicaraan jenis ini kita bukan hanya berurusan dengan suatu bahasa,
serta variasinya, juga berurusan dengan sejumalh bahasa, baik yang dimiliki
repertoire satu masyarakat tutur maupun yang dimiliki dan digunakan oleh
sejumlah masyarakat tutur.
Penjenisan bahasa
secara sosiolinguistik tidak sama dengan penjenisan (klasifikasi) bahasa secara
geneologis (genetis) maupun tipologis. Penjenisan atau klasifikasi secara
genelogis dan tipologis berkenaan dengan cirri-cir internal bahasa – bahasa
itu, ssedangkan penjenisa secara sosiolinguistik berkenaan dengan factor-faktor
eksternal bahasa atau bahasa – bahasa itu yakni factor sosiologis, politis, dan
kultur.
B. Rumusan
Masalah
1. apa yang dimaksud
dengan sosiolinguistik.?
2. Apakah sosiolinguistik
mempelajari dari kultur bahasa.?
3. Bagaimana cara kita
mempelajarinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Jenis bahasa
berdasarkan Sosiologis
Penjenisan berdasarkan
faktor sosiologis, artinya, penjenisan itu tidak terbatas pada struktur
internal bahasa, tetapi juga bredasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan sistem
linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Penjenisan secara sosioligis ini penting untuk menentukan satu system inguistik
tertentu, misalnya sebagai bahasa resmi kenegaraan, dan sebagainya.
Stweart (dalam
fishman(ed) 1986) menggunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa secara
sosiologis, yaitu :
1) Standardisasi
2) Otonomi
3) Historisatis
4) Vitalitas.
Keempat faktor itu
oleh Fishman (1972 : 18) disebut sebagai jenis sikap dan eprilaku tehadap
bahasa. Secara singkat keempat dasar itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Standardisasi, atau pembakuan adalah
adanya kodifikasi dan penerimaan terhadap sebuah bahasa oelh masyarakat pemakai
bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaian “
bahasa yang benar “.
Jadi. Standardisasi
ini mempersoalkan apakah sebuah bahas amemiliki kaidah atau norma yang yang
dikodifikasikan atau yang tidak diterima oleh masyarakat tutur dan merupakan
dasar dalam pengajaran bahasa, baik sebagai bahasa yang pertama maupun bahas
ayang kedua. Siapakah yang harus membuat kodifikasi itu?. Pengkodifikasian
pada dasrnya merupakan tugas para pakar dan mereka yang dalam pekerjaan
sehari-hari secara professional berurusan dengan bahasa, seperti para
pengarang, guru, wartawan, pakar bahasa dan sebagainya. Kodifikasi ini tentunya
harus diterima oleh masyarakat berupa penerimaan kaidah-kaidah itu serta
dibantu oleh pemerintah untuk memasyarakatkan kaidah-kaidah tadi.
Otonom, dalam penjenisan
sosiologis ini adalah otonomi atau keotonomian. Sebuah system linguistic
disebut mempunyai keotonomian kalu system yang tidak bekaiatan dengan bahasa
lain. Jadi, kalau ada dua sistem linguistikatau lebih tidak mempunyai hubungan
kesejarahan, maka berarti keduanya memiliki keotonomian mansing-masing.
Umpanya. Bahasa inggris dan bahsa jawa keduanya mempunyai keotonomian sendiri-sendiri.
Kalau dua system linguistic atau lebih memiliki hubungan kesejarahan, tetapi
keduanya memiliki sejumlah perbedaaan struktur, maka dalam hal ini
keotonomiannya masih tampak. Misalnya, bahasa Indonesia (di Indonesia) dan
bahasa Malaysia (di Malaysia) mempunyai hubungan kesejarahan, yaitu sama-sama
dari bahasa Melayu, namun keduanya mempunyai keotonomian masing-masing.
Mengapa?? Karena perbedaan-perbedaan stuktur yang terdapat diantara keduanya
sangat jelas. Keduanya mempunyai kodifikasi masing-masing, dan tradisi
kesusastraan masing-masing, yang menandai keduanya juga mempunyai pembakuan
masing-massinng. Bahasa yang telah mengalami usaha pembakuan adalah bahas yang
otonom. Perlu ditekankan bahwa keotonomian sebuah bahasa bukan dating sendiri,
melainkan harus diusahakan, lebih-lebih untuk ragam baku bahhasa tulis.
Historisatis,
dalam penjenisan sosiologi bahasa adala factor historisitas atau kesejarahan.
Sebuah system linguistic dianggap mempunyai historisitas kalau diketahui atau
dipercaya sebagai hasil perkembbangna uang normal pada maa yag lalu. Factor
kesejarahan ini berkaitan dengan tradisi dari etnik tertentu. Jadi, factor
historisitas ini mempersoalkan, apakah system linguistic itu tumbuh melalui
pemakaian oleh kelompok etnik atau social tertentu atau tidak. Para penutur
suatu system linguistic yang nenliki unsure kesejarahan mempunyai kemungkinan
untuk menguasai bahasa yang kedua, yaitu bahasa lain yang bukan bahasa ibunya.
Bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia mempunyai unsur kesejarahan.
Bahasa Jawa dan bahasa Sunda jelas ada unsur kesejarahannya dan jelas ada
kelompok etnik yang mendukungnya. Bagaimana dengan bahasa Indonesia? Bahwa
bahsa Indonesia memiliki unsur kesejarahan dapat kita lihat dari
kebijakan yang ada dalam pedoman pembentukan istilah. Dalam oedoman itu
disebutkan bahwa untuk menciptakan istilah baru pertama-tama kita harus mencari
dari kosakata bahasa Indonesia yang ada sekarang, kalau tidak ada harus dicari
dari kosakata bahasa Indonesia yang sudah lama, yang sudah tidak dipakai.
Vitalitas,dalam penjenisan
bahasa secara sosiologis adalah factor vitalitas atau keterpakaian. Menurut
Fishman (1968:536) yang dimaksud dengan vitalitas adalah pemakaian system
linguistic oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi. Jadi, unsur
vitalitas ini mempersoalkan apaka system linguistic tersebut memiliki penutur
asli ayng amsih menggunakan atau tidak. Bahas Jawa dan bahasa Bali dewasa ini
jelas masih ada penutur aslinya. Tetapi bahasa Latin dan bahasa sansekerta
dewasa ini tidak ada penutr aslinya lagi. Dengan demikan dapat dikatakan bahasa
Jawa dan bahasa sansekerta tidak memiliki vitalitas lagi. Sebuah bahasa bisa
saja kehilangan vitalitasnya kalau para penutur aslinya telah musnah atau telah
meninggalkannya. Namun bisa juga sebuah bahasa yang sudah kehilangan
vitalitasnya menjadi mempunyai vitalitas lagi kalau ada kesadaran dan usaha
dari para “ahli waris” untuk menggunakannya kembal. Misalnya, bahasa Ibrani di
Israel.[1]
B. Jenis Bahasa
Berdasarkan Sikap Politik
Berdasarkan sikap
politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional,
bahasa resmi, bahasa Negara, dan bahasa persatuan. Pembedaan ini dikatakan
berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat dengan kepentingan
kebangsaan. Ada kemungkinan keempat jenis bahasa yang disebutkan itu mengacu
pada sebuah sistem linguistik yang sama, dan ada kemungkinan pula pada sistem
yang berbeda. Di Indonesia keempat jenis bahasa itu mengacu pada satu sistem
linguistik yang sama, sedangkan di India, di Filipina, dan di Singapura tidak.
Sebuah sistem
linguistik disebut sebagai bahasa nasional, seringkali juga disebut bahasa
nasional, seringkali juga disebut sebagai bahasa kebangsaan, adalah kalau
sistem linguistik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan)
sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu. Bahasa Indonesia, yang
berasal dari bahasa melayu, adalah bahasa nasional bagi bangsa Indonesia,
bahasa Pilipina adalah bahasa nasional bagi bangsa Pilipina. Bahasa Malaysia
adalah bahasa nasional bagi bangsa Malaysia, dan bahasa melayu adalah bahasa
bahasa nasional bagi bangsa singapura. Jadi, bangsa Indonesia dikenal sebagai
suatu bangsa adalah, antara lain : karena bahasa Indonesianya dan bangsa
Filipina dikenal sebagai suatu bangsa adalah karena bahasa Pilipinanya.
Pengangkatan sebuah sistem linguistik menjadi bahasa nasioanl adalah berkat
sikap dan pemikiran politik, yaitu agar dikenal sebagai sebuah bangsa (dengan
Negara yang berdaulat dan berpemerintahan sendiri) berbeda dengan bangsa lainnya.
Pengangkatan sebuah sistem limguistik, yang ada pada masyarakat multilingual,
menjadi sebuah bahasa nasional, bisa berrjalan dengan mulus, tetapi juga bisa
penuh dengan hambatan.
Di Indonesia
pengangkatan bahasa nasional itu beerjalan mulus, dalam arti, tidak ada
keberatan dari suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Hal ini karena bahasa
Melayu yang diangkat menjadi bahasa nasional itu, telah berabad - abad lamanya
menjadi lingua franca diseluruh wilayah Nusantara.
Yang dimaksud dengan
bahasa Negara adalah sebuah sistem linguistik yang secara resmi dalam undang –
undang dasar sebuah Negara ditetapkan sebagai alat komunikasi resmi
kenegaraan. Artinya, segala urusan kenegaraan, adminstrasi kenegaraan, dan
kegiatan kenegaraan dijalankan dengam menggunakan bahasa itu. Pemilihan dan
penetapan sebuah sistem limguistik menjadi bahasa Negara biasanya dikaitkan
dengan keterpakaian bahasa itu yang sudah merata di seluruh wilayah
Negara itu. Misalnya, di Indonesia yang dijadikan bahasa Negara (ditetapkan
dalam undang – undang dasar 1945) adalah bahasa Indonesia, yang pada mulanya
ketika masih bernama bahasa Melayu telah dipakai secara luas, sebagai lingua
franca, di seluruh wilayah Indonesia. Bagi bangsa Filipina mereka tidak
mengangkat bahasa Tagalog, karena bahasa Tagalog itu tidak dipakai secara
merata di seluruh wilayah Filipina[2]
C. Jenis
Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan
Berdasarkan tahap
pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa pertama, dan bahasa
kedua (ketiga dan seterusnya), dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan
bahasa pertama adalah mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang
disebut bahasa ibu adalah satu system linguistic yang pertama kali dipelajari
secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak. Umpamanya,
bahasa ibu penduduk asli penduduk di lereng Gunung Merapi adalah bahsa Jawa dan
bahasa ibu penduduk asli di tepi Danau Batur adalah bahasa Bali. Bahas ibu
tidak mengacu pada bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu,
melainkan mengacu pada bahasa yang dipelajari seorang anak dalam keluarga yang
mengasuhnya.
Dibawah ini di kota – kota besar di Indonesia,
seperti di Jakarta dan Surabaya, banyak trjadi dimana ayah dan ibu menggunakan
bahasa daerah jika bercakap-cakap berdua, tetapi mnggunakan bahasa Indonesia
bila becakap denag anak mereka. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahasa ibu si
anak adalah bahasa Indonesia, karena bahasa itulah yang dipelajri si anak dari
ibunya atau keluarganya.
Bahasa ibu lazim juga
disebut bahasa pertama karena bahasa itulah uang pertama –tama dipelajarinya.
Kalau kemudian si anak mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya, maka
bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua. Andaikata kemudian si
anak mempelajari bahasa lainnya lagi, maka bahasa yang dipelajari terakhir ini
disebut bahasa ketiga. Begitu pula selanjutnya, ada kemungkinan seorang anak
mempelajari bahasa keempat, kelima, dan seterusnya. Pada umumnya, bahasa
pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing – masing.
Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua karena baru dipelajari ketika
masuk sekolah, dan ketika dia sudah menguasai bahasa ibunya, kecuali mereka
yang sejak bayi sudah mempelajari bahasa Indonesia dari ibunya.
Yang disebut bahasa
asing akan selalu merupakan bahasa kedua bagi seorang anak. Disamping itu
penanaman bahasa asing ini juga bersifat politis, yaitu bahasa yang digunakan
oleh bangsa lain. Maka itu bahasa Malaysia, bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa
Cina adalah asing bagi bangsa Indonesia. Sebuah bahasa asing, bahasa yang bukan
milik suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) dapat menjadi bahasa kedua. Kalau
dipelajari setelah menguasai bahasa ibu seperti pada kebanyakan penutur di
India, di Malaysia, dan di Filipina. Bisa juga menjadi bahasa Negara kalau bahasa
asing itu digunakan untuk menjalankan administrasi kenegaraan dan kegiatan
kenegaraan lainnya. Sebuah bahasa asing dapat juga menjadi bahasa pertama bagi
seorang anak kalau anak itu “tercerabut” dari bumi negaranya dan menggunakan
bahasa itu sejak bayinya.[3]
BAB
III
PENUTP
A.
KESIMPULAN
Pembahasan diatas menerangkan tentang
berbagai jenis dan faktor yang mengacu pada suatu sistem luistik tersebut. Penjenisan secara sosioligis ini penting
untuk menentukan satu sistem inguistik tertentu, misalnya sebagai bahasa resmi
kenegaraan, dan sebagainya.
Berdasarkan
sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional,
bahasa resmi, bahasa Negara, dan bahasa persatuan. Pembedaan ini dikatakan
berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat dengan kepentingan
kebangsaan.
Berdasarkan tahap
pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa pertama, dan bahasa
kedua (ketiga dan seterusnya), dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan
bahasa pertama adalah mengacu pada satu system linguistic yang sama.
Jadi kesimpulannya di atas bahasa
merupakn sistem linguistik atau alat untuk menentukan suatu bahasa manusia,
dalam berkomonikasi bebagai kepentingannya.