Minggu, 18 Maret 2012

sosiologi liuistik







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam pembicaraan mengenai variasi bahasa kita berbincang tentang satu bahasa yang memiliki berbagai variasi berkenaan dengan penutur dan penggunaannya secara konkret. Begitulah dalam pembicaraan variasi bahasa itu kita berkenalan dengan idiolek, dialek, sosiolek, kronolek, fungsiolek, ragam, dan register. Pembicaraan tentang variasi bahas itu tidak lengkap bila tidak disertai dengan pembicaraan tentang jenis bahasa yang juga dilihat secara sosiolinguistik. Hanya bedanya dalam pembicaraan jenis ini kita bukan hanya berurusan dengan suatu bahasa, serta variasinya, juga berurusan dengan sejumalh bahasa, baik yang dimiliki repertoire satu masyarakat tutur maupun yang dimiliki dan digunakan oleh sejumlah masyarakat tutur.
Penjenisan bahasa secara sosiolinguistik tidak sama dengan penjenisan (klasifikasi) bahasa secara geneologis (genetis) maupun tipologis. Penjenisan atau klasifikasi secara genelogis dan tipologis berkenaan dengan cirri-cir internal bahasa – bahasa itu, ssedangkan penjenisa secara sosiolinguistik berkenaan dengan factor-faktor eksternal bahasa atau bahasa – bahasa itu yakni factor sosiologis, politis, dan kultur.
B.     Rumusan Masalah
1.      apa yang dimaksud dengan sosiolinguistik.?
2.      Apakah sosiolinguistik mempelajari dari kultur bahasa.?
3.      Bagaimana cara kita mempelajarinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Jenis bahasa berdasarkan Sosiologis
Penjenisan berdasarkan faktor sosiologis, artinya, penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga bredasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penjenisan secara sosioligis ini penting untuk menentukan satu system inguistik tertentu, misalnya sebagai bahasa resmi kenegaraan, dan sebagainya.
Stweart (dalam fishman(ed) 1986) menggunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa secara sosiologis, yaitu :
1)      Standardisasi
2)       Otonomi
3)       Historisatis
4)       Vitalitas.
Keempat faktor itu oleh Fishman (1972 : 18) disebut sebagai jenis sikap dan eprilaku tehadap bahasa. Secara singkat keempat dasar itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Standardisasi, atau pembakuan adalah adanya kodifikasi dan penerimaan terhadap sebuah bahasa oelh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaian “ bahasa yang benar “.
Jadi. Standardisasi ini mempersoalkan apakah sebuah bahas amemiliki kaidah atau norma yang yang dikodifikasikan atau yang tidak diterima oleh masyarakat tutur dan merupakan dasar dalam pengajaran bahasa, baik sebagai bahasa yang pertama maupun bahas ayang kedua. Siapakah yang harus  membuat kodifikasi itu?. Pengkodifikasian pada dasrnya merupakan tugas para pakar dan mereka yang dalam pekerjaan sehari-hari secara professional berurusan dengan bahasa, seperti para pengarang, guru, wartawan, pakar bahasa dan sebagainya. Kodifikasi ini tentunya harus diterima oleh masyarakat berupa penerimaan kaidah-kaidah itu serta dibantu oleh pemerintah untuk memasyarakatkan kaidah-kaidah tadi.
Otonom, dalam penjenisan sosiologis ini adalah otonomi atau keotonomian. Sebuah system linguistic disebut mempunyai keotonomian kalu system yang tidak bekaiatan dengan bahasa lain. Jadi, kalau ada dua sistem linguistikatau lebih tidak mempunyai hubungan kesejarahan, maka berarti keduanya memiliki keotonomian mansing-masing. Umpanya. Bahasa inggris dan bahsa jawa keduanya mempunyai keotonomian sendiri-sendiri. Kalau dua system linguistic atau lebih memiliki hubungan kesejarahan, tetapi keduanya memiliki sejumlah perbedaaan struktur, maka dalam hal ini keotonomiannya masih tampak. Misalnya, bahasa Indonesia (di Indonesia) dan bahasa Malaysia (di Malaysia) mempunyai hubungan kesejarahan, yaitu sama-sama dari bahasa Melayu, namun keduanya mempunyai keotonomian masing-masing. Mengapa?? Karena perbedaan-perbedaan stuktur yang terdapat diantara keduanya sangat jelas. Keduanya mempunyai kodifikasi masing-masing, dan tradisi kesusastraan masing-masing, yang menandai keduanya juga mempunyai pembakuan masing-massinng. Bahasa yang telah mengalami usaha pembakuan adalah bahas yang otonom. Perlu ditekankan bahwa keotonomian sebuah bahasa bukan dating sendiri, melainkan harus diusahakan, lebih-lebih untuk ragam baku bahhasa tulis.
 Historisatis, dalam penjenisan sosiologi bahasa adala factor historisitas atau kesejarahan. Sebuah system linguistic dianggap mempunyai historisitas kalau diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembbangna uang normal pada maa yag lalu. Factor kesejarahan ini berkaitan dengan tradisi dari etnik tertentu. Jadi, factor historisitas ini mempersoalkan, apakah system linguistic itu tumbuh melalui pemakaian oleh kelompok etnik atau social tertentu atau tidak. Para penutur suatu system linguistic yang nenliki unsure kesejarahan mempunyai kemungkinan untuk menguasai bahasa yang kedua, yaitu bahasa lain yang bukan bahasa ibunya. Bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia mempunyai unsur kesejarahan. Bahasa Jawa dan bahasa Sunda jelas ada unsur kesejarahannya dan jelas ada kelompok etnik yang mendukungnya. Bagaimana dengan bahasa Indonesia? Bahwa bahsa Indonesia memiliki unsur  kesejarahan dapat kita lihat dari kebijakan yang ada dalam pedoman pembentukan istilah. Dalam oedoman itu disebutkan bahwa untuk menciptakan istilah baru pertama-tama kita harus mencari dari kosakata bahasa Indonesia yang ada sekarang, kalau tidak ada harus dicari dari kosakata bahasa Indonesia yang sudah lama, yang sudah tidak dipakai.
Vitalitas,dalam penjenisan bahasa secara sosiologis adalah factor vitalitas atau keterpakaian. Menurut Fishman (1968:536) yang dimaksud dengan vitalitas adalah pemakaian system linguistic oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi. Jadi, unsur vitalitas ini mempersoalkan apaka system linguistic tersebut memiliki penutur asli ayng amsih menggunakan atau tidak. Bahas Jawa dan bahasa Bali dewasa ini jelas masih ada penutur aslinya. Tetapi bahasa Latin dan bahasa sansekerta dewasa ini tidak ada penutr aslinya lagi. Dengan demikan dapat dikatakan bahasa Jawa dan bahasa sansekerta tidak memiliki vitalitas lagi. Sebuah bahasa bisa saja kehilangan vitalitasnya kalau para penutur aslinya telah musnah atau telah meninggalkannya. Namun bisa juga sebuah bahasa yang sudah kehilangan vitalitasnya menjadi mempunyai vitalitas lagi kalau ada kesadaran dan usaha dari para “ahli waris” untuk menggunakannya kembal. Misalnya, bahasa Ibrani di Israel.[1]
B.      Jenis Bahasa Berdasarkan Sikap Politik
Berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa Negara, dan bahasa persatuan. Pembedaan ini dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat dengan kepentingan kebangsaan. Ada kemungkinan keempat jenis bahasa yang disebutkan itu mengacu pada sebuah sistem linguistik yang sama, dan ada kemungkinan pula pada sistem yang berbeda. Di Indonesia keempat jenis bahasa itu mengacu pada satu sistem linguistik yang sama, sedangkan di India, di Filipina, dan di Singapura tidak.
Sebuah sistem linguistik disebut sebagai bahasa nasional, seringkali juga disebut bahasa nasional, seringkali juga disebut sebagai bahasa kebangsaan, adalah kalau sistem linguistik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu. Bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa melayu, adalah bahasa nasional  bagi bangsa Indonesia, bahasa Pilipina adalah bahasa nasional bagi bangsa Pilipina. Bahasa Malaysia adalah bahasa nasional bagi bangsa Malaysia, dan bahasa melayu adalah bahasa bahasa nasional bagi bangsa singapura. Jadi, bangsa Indonesia dikenal sebagai suatu bangsa adalah, antara lain : karena bahasa Indonesianya dan bangsa Filipina dikenal sebagai suatu bangsa adalah karena bahasa Pilipinanya. Pengangkatan sebuah sistem linguistik menjadi bahasa nasioanl adalah berkat sikap dan pemikiran politik, yaitu agar dikenal sebagai sebuah bangsa (dengan Negara yang berdaulat dan berpemerintahan sendiri) berbeda dengan bangsa lainnya. Pengangkatan sebuah sistem limguistik, yang ada pada masyarakat multilingual, menjadi sebuah bahasa nasional, bisa berrjalan dengan mulus, tetapi juga bisa penuh dengan hambatan.
Di Indonesia pengangkatan bahasa nasional itu beerjalan mulus, dalam arti, tidak ada keberatan dari suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Hal ini karena bahasa Melayu yang diangkat menjadi bahasa nasional itu, telah berabad - abad lamanya menjadi lingua franca diseluruh wilayah Nusantara.
Yang dimaksud dengan bahasa Negara adalah sebuah sistem linguistik yang secara resmi dalam undang – undang dasar sebuah Negara ditetapkan sebagai alat komunikasi  resmi kenegaraan. Artinya, segala urusan kenegaraan, adminstrasi kenegaraan, dan kegiatan kenegaraan dijalankan dengam menggunakan bahasa itu. Pemilihan dan penetapan sebuah sistem limguistik menjadi bahasa Negara biasanya dikaitkan dengan keterpakaian bahasa  itu yang sudah merata di seluruh wilayah Negara itu. Misalnya, di Indonesia yang dijadikan bahasa Negara (ditetapkan dalam undang – undang dasar 1945) adalah bahasa Indonesia, yang pada mulanya ketika masih bernama bahasa Melayu telah dipakai secara luas, sebagai lingua franca, di seluruh wilayah Indonesia. Bagi bangsa Filipina mereka tidak mengangkat bahasa Tagalog, karena bahasa Tagalog itu tidak dipakai secara merata di seluruh wilayah Filipina[2]
C.    Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan
Berdasarkan tahap pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa pertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan bahasa pertama adalah mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah satu system linguistic yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak. Umpamanya, bahasa ibu penduduk asli penduduk di lereng Gunung Merapi adalah bahsa Jawa dan bahasa ibu penduduk asli di tepi Danau Batur adalah bahasa Bali. Bahas ibu tidak mengacu pada bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu, melainkan mengacu pada bahasa yang dipelajari seorang anak dalam keluarga yang mengasuhnya.
 Dibawah ini di kota – kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta dan Surabaya, banyak trjadi dimana ayah dan ibu menggunakan bahasa daerah jika bercakap-cakap berdua, tetapi mnggunakan bahasa Indonesia bila becakap denag anak mereka. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahasa ibu si anak adalah bahasa Indonesia, karena bahasa itulah yang dipelajri si anak dari ibunya atau keluarganya.
Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama karena bahasa itulah uang pertama –tama dipelajarinya. Kalau kemudian si anak mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua. Andaikata kemudian si anak mempelajari bahasa lainnya lagi, maka bahasa yang dipelajari terakhir ini disebut bahasa ketiga. Begitu pula selanjutnya, ada kemungkinan seorang anak mempelajari bahasa keempat, kelima, dan seterusnya. Pada umumnya, bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing – masing. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua karena baru dipelajari ketika masuk sekolah, dan ketika dia sudah menguasai bahasa ibunya, kecuali mereka yang sejak bayi sudah mempelajari bahasa Indonesia dari ibunya.
Yang disebut bahasa asing akan selalu merupakan bahasa kedua bagi seorang anak. Disamping itu penanaman bahasa asing ini juga bersifat politis, yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa lain. Maka itu bahasa Malaysia, bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Cina adalah asing bagi bangsa Indonesia. Sebuah bahasa asing, bahasa yang bukan milik suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) dapat menjadi bahasa kedua. Kalau dipelajari setelah menguasai bahasa ibu seperti pada kebanyakan penutur di India, di Malaysia, dan di Filipina. Bisa juga menjadi bahasa Negara kalau bahasa asing itu digunakan untuk menjalankan administrasi kenegaraan dan kegiatan kenegaraan lainnya. Sebuah bahasa asing dapat juga menjadi bahasa pertama bagi seorang anak kalau anak itu “tercerabut” dari bumi negaranya dan menggunakan bahasa itu sejak bayinya.[3]
BAB III
PENUTP
A.    KESIMPULAN
Pembahasan diatas menerangkan tentang berbagai jenis dan faktor yang mengacu pada suatu sistem luistik tersebut. Penjenisan secara sosioligis ini penting untuk menentukan satu sistem inguistik tertentu, misalnya sebagai bahasa resmi kenegaraan, dan sebagainya.
Berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa Negara, dan bahasa persatuan. Pembedaan ini dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat dengan kepentingan kebangsaan.
 Berdasarkan tahap pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa pertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan bahasa pertama adalah mengacu pada satu system linguistic yang sama.
Jadi kesimpulannya di atas bahasa merupakn sistem linguistik atau alat untuk menentukan suatu bahasa manusia, dalam berkomonikasi bebagai kepentingannya.




[1]
[2] Sumber: http://Mariapriangga.Blogspot.Com/2010/02/Istilah-Istilah-Politik.html

Selasa, 13 Maret 2012







SOSIOLINGUISTIK

       I.            PENGERTIAN SOSIOLINGUISTIK
Sosiolinguistik paduan antara sosiologi dan linguistik. Keduanya saling berkaitan erat. Sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Sosiolinguistik pengkajian bahasa itu sendiri dan fungsinya dalam masyarakat (sosiologis). Yang dikaji adalah pengaruh masyarakat atas bahasa, fungsi bahasa dalam masyarakat, cara-cara menggunakan bahasa oleh dan dalam masyarakat. Pemakaian bahasa itu tentu mempunyai berbagai aspek, seperti jumlah, sikap, adat istiadat dan budaya.
1.      Menurut Harimurti Kridalaksana, sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antar perilaku bahasa dan perilaku sosial (1983: 156). Sosiolinguistik bukan saja menyoroti masalah bahasa dalam suatu masyarakat melainkan bahasa dengan perilaku sosial. Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta bagian kebudayaan masyarakat, antar bahasa dengan budaya dan masyarakat penuturnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya atau tidak dapat berdiri sendiri.
2. Suwito,(1997: 56) menjelaskan bahwa masalah-masalah sosiolinguistik:
a. Identitas sosial dari penutur,
b. Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi,
c. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi,
d. Analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial,
e. Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran,
f. Tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan
g. Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. ()
3. Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 4) berpendapat bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.
4. Pride & Holmes, sosiolinguistik adalah kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan dan masyarakat dan masyarakat tidak dapat berdiri sendiri. Sosiolinguistik adalah ilmu yang meneliti dua aspek hubungan timbal -balik antara bahasa dengan perilaku organisasi social (J.A. Fisman, 1972 )
5.      Sosiolinguistik adalah pendekatan terhadap penelitian bahasa yang memusatkan perhatiannya kepada bahasa yang dipakai dalam masyarakat bahasa (speech community) dengan tujuan untuk menghasilkan suatu teori bahasa yang mantap untuk membenarkan, memerikan, dan menjelaskan data (W. Labov, 1970)
6.      Sosiolinguistik adalah studi bahasa dalam perspektif social dan kerangka program tentang pemerian dan klasifikasi konteks situasi yang khas dalam suatu konteks budaya serta tipe-tipe fungsi bahasa di dalam konteks situasi (Halliday, 1973)
Jadi Sosiolinguistik adalah studi bahasa yang dipakai oleh masyarakat untuk mendapatkan gambaran pemakaian masyarakat pemakai bahasa dengan segala aspek yang melatarbelakanginya. Sosiolinguistik menekankan pada gejala dan kelompok masyarakat dalam kaitannya dengan bahasa, masyarakt memberi corak dan warna tertentu terhadap system pemakaian bahasa dan bahasa akan mengikuti perilaku masyarakat dan kadar kelancaran hubungan antar kelompok. Sosiolinguistik tidak menekankan pada bahasa atau masyarakatnya saja, tetapi hubungan timbale-balik antara bahasa dan masyarakat.
Sehingga penelitian-penelitian bahasa itu selalu memperhitungkan faktor-faktor lain di luar bahasa, seperti faktor sosial yang meliputi: status sosial, umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin dsb. Sedang faktor situasional misalnya siapa pembicara, kepada siapa ia berbicara, kapan, dimana, mengenai masalah apa.

II. BIDANG SOSIOLINGUISTIK
1.Makro Sosiolinguistik: adalah studi bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaan dalam arti yang seluas-luasnya.
Obyek penelitiannya antara lain:
1) Faktor kemasyarakatan yaitu interaksi antara bahasa dan dialek,
2) studi tentang kemunduran dan stabilisasi bahasa minoritas,
3) stabilitas perkembangan kedwibahasaan dalam kelompok tertentu,
4) Pembakuan bahasa,
5) perencanaan, pembinaan dan pengembangan bahasa di Negara berkembang,
6) etnografi komunikasi.
2. Mikro Sosiolinguistik: adalah studi tentang bahasa yang dihubungkan dengan sasaran penelitian etnografi komunikasi seperti: siapa penutur, dengan bahasa apa, siapa mitra tutur, kapan dan dimana perbicara dan topic pembicaraan. Sehingga muncul adanya : alih kode, campur kode, interferensi, kedwibahasaan, diglosia, ragam bahasa, variasi bahasa, idiolek, dialek, integrasi, bilingualisme, pemakaian bahasa di masyarakat.
3. Sosiolinguistik terapan; studi yang berusaha menerapkan teori sosiolinguitik dari berbagai bidang ilmu dengan pemakaian bahasa: (1) politik bahasa, (2) pelaksanaan politik bahasa, (3) pengajaran bahasa yang bilingualisme, (4) perencanaan bahasa untuk pembinaan dan per-kembangan bahasa.
Masalah Sosiolinguistik yang sering muncul:
1.      Masyarakat Bahasa
2.      Bahasa, Dialek dan Idiolek
3.      Ragam Bahasa
5.      Reperetoire bahasa
6.      Fungsi masyarakat bahasa
7.      Etnografi komunikasi
8.      Sikap Bahasa
9.      Perencanaan Bahasa
9. Kedwibahasaan
10. Interaksi Sosiolinguistik
11. Bahasa dan Budaya
III. MASYARAKAT BAHASA
1.      Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang menggunakan sistem tanda ujaran yang sama. Sistem bahasa meliputi sistem bunyi, sintaksis, dan semantik yang sama.
2.      Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang memakai kode- kode linguistik yang sama.

IV. Bilingualisme
Istilah bilingualisme atau kedwibahasaan, maksudnya pemakaian dua bahasa atau lebih atau orang yang menguasai dua bahasa atau lebih dalam suatu tindak tutur. Jadi orang yang mampu menggunakan bahasa lebih dari satu disebut berdwibahasa atau dwibahasawan.
Kedwibahasaan ialah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain. Secara sosiolinguistik, kedwibahasaan (bilingualisme) sebagai penggunaan dua bahasa, seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain. Maka dari itu, bilingualisme sangat diperlukan untuk berkomunikasi dalam lingkungan bermasyarakat atau dapat juga untuk perorangan.
Bilingualisme adalah praktek penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain oleh penutur. Untuk menggunakan dua bahasa tersebut diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tujuan yang sama. Dengan demikian salah satu ciri biliungalisme adalah digunakannya dua bahasa atau lebih oleh sekelompok orang dengan tidak adanya peran tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja
    V.            Kode dan Alih Kode
Gambaran kode dapat diwujudkan dalam hierarki kebahasaan, yaitu tingkat yang teratas adalah bahasa sedangkan dibawahnya adalah kode (Suwito, 1983: 67). Kode adalah suatu sistem tutur yang penerapannya serta unsur kebahasaannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan tuturnya situasi tutur yang ada (Poedjosoedarmo dalam Kunjana Rahardi, 2001: 20). Kode tutur bukanlah merupakan suatu unsur kebahasaan seperti fonem, morfologi, kata, frasa, atau kalimat melainkan variasi bahasa yang secara nyata digunakan dalam komunikasi masyarakat pendukungnya.
Alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam (Dell Hymes dalam Kunjana Rahardi, 2001: 20). Hymes membagi alih kode berdasarkan sifatnya menjadi dua yaitu alih kode intern (internal code switching) dan alih kode ekstern (external code switching). Alih kode intern yakni yang terjadi antar bahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam satu bahasa daerah atau beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek. Adapun yang dimaksud dengan alih kode ekstern adalah apabila yang terjadi adalah antara bahasa asing dengan bahasa asing. Alih kode intern misalnya dari bahasa Jawa beralih ke bahasa Indonesia. Sedangkan alih kode ekstern misalnya dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris.

Macam alih kode ada dua, yaitu alih kode permanent, dan alih kode sementara (Soepomo, 1986: 38).
1). Alih kode permanent apabila seorang pembicara tepat mengganti kode bicaranya terhadap seorang kawan bicara. Biasanya pergantian semacam ini hanya terjadi bila ada perubahan radikal dalam kedudukan status sosial, dan hubungan pribadi antara si pembicara dan lawan bicara.
2). Alih kode sementara ialah alih kode yang dilakukan seorang pembicara pada waktu penutur (O1) berbicara dengan tingkat tutur biasa dipakai dengan alasan bermacam-macam, peralihan pemakaian tingkat tutur itu terjadi begitu saja di tengah-tengah kalimat atau bagian wacananya. Peralihan pemakaian tingkat tutur begini tidak berlangsung lama, sebab pada waktunya O1 kembali memakai tingkat tutur yang asli. Alih kode memiliki dua sifat yaitu positif dan negatif. Bersifat positif apabila tidak mengganggu komunikasi dan bersifat negatif bila mengganggu komunikasi.
Alih kode ada yang disadari dan tidak disadari oleh penutur. Alih kode yang tidak disadari oleh penutur adalah biasanya penutur mencari jalan termudah dalam menyampaikan pikirannya. Sedangkan alih kode yang disadari oleh penutur karena penutur memiliki maksud-maksud tertentu. Terjadinya alih kode itu disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Fishman dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:100), penyebab alih kode dikembalikan pada pokok persoalan sosiolinguistik, yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa.

Penyebab Alih Kode
Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:108) berpendapat bahwa penyebab alih kode antara lain:
1. Pembicara atau penutur,
2. Pendengar atau lawan tutur,
3. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga,
4. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya,
5. Perubahan topik pembicaraan.
Fungsi alih kode (Suwito) sebagai berikut.:
1. Penutur (O1)
Penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud.
2. Mitra Tutur (O2)
Setiap penutur ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh mitra tutur. Dalam masyarakat multilingual seorang penutur mungkin beralih sebanyak lawan tutur yang dihadapinya.
3. Hadirnya Penutur Ketiga
Dua orang berasal dari etnik yang sama umumnya saling berinteraksi dengan bahasa keluarga etniknya. Tetapi bila ada orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar belakang kebahasaannya, biasanya dua orang yang pertama beralih ke kode bahasa penutur ketiga untuk netralisasi situasi sekaligus menghormati hadirnya orang ketiga tersebut.
4. Pokok Pembicaraan (Topik)
Pokok pembicaraan merupakan faktor yang termasuk dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan ada dua golongan, yaitu: (1) Pokok pembicaraan yang bersifat formal, dan (2) Pokok pembicaraan yang bersifat informal.
5. Membangkitkan Rasa Humor
Alih kode sering dimanfaatkan oleh pelawak, guru atau pimpinan rapat untuk membangkitkan rasa humor. Bagi pelawak, untuk membuat penonton merasa puas dan senang. Bagi pemimpin rapat rasa humor untuk menghilangkan ketegangan yang muncul dalam memecahkan masalah.
6. Sekedar Bergengsi
Sebagian penutur ada yang beralih kode sekedar untuk bergengsi, yang dapat menimbulkan kesan dipaksakan dan tidak komunikatif. Hal ini terjadi apabila faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor-faktor situasi yang lain, menuntut untuk berbicara bahasa yang berbeda dengan kita yaitu ketika kita berbicara dengan orang asing kita menggunakan bahasa Inggris.
Jadi alih kode adalah peristiwa peralihan bahasa dari bahasa satu ke bahasa yang lain, dapat berupa alih kode intern dan alih kode ekstern. Peristiwa peralihan bahasa tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penutur, mitra tutur, situasi, pokok pembicaraan, hadirnya orang ketiga, maksud tertentu dan lain sebagainya.
VI. Campur Kode
Campur kode merupakan penggunan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan dll (Kridalaksana dalam Markhamah, 2000: 21). Menurut Nababan (dalam PELLBA 2, 1989: 194) jikalau seseorang memakai kata atau kalimat dari bahasa atau ragam bahasa lain di dalam kerangka penggunaan sesuatu bahasa atau ragam bahasa tertentu, itu disebut campur kode. Pemilihan atau penggunaan bahasa dan ragam bahasa hanya ditentukan oleh kebiasaan atau enaknya perasaan atau mudahnya pengungkapan seorang pengguna bahasa.
Kundharu (2003: 27) berpendapat bahwa campur kode terjadi akibat pemakaian satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain. Untuk itu campur kode mempunyai ciri-ciri, yaitu (1) Adanya aspek saling ketergantungan yang ditandai dengan adanya timbal balik antara peran dan fungsi bahasa. Peran adalah siapa yang menggunakan bahasa itudan fungsi merupakan tujuan apa yang hendak dicapai oleh penutur, (2) Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasi yang menyisip dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi sendiri, melainkan menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan mendukung satu fungsi, (3) Wujud dari komponen tutur kode tidak pernah berwujud kalimat, melainkan hanya berwujud kata, frasa, idiom, bentuk baster, perulangan kata, klausa, (4) Pemakaian bentuk campur kode tertentu kadang-kadang bermaksud untuk menunjukkan status sosial dan identitas penuturnya di dalam masyarakat dan (5) Campur kode dalam kondisi yang maksimal merupakan konvergensi kebahasaan yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
Menurut pendapat Suwito (1983: 76) jika di dalam suatu tuturan terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu ke klausa bahasa yang lain dan masing-masing klausa masih mendukung fungsi tersendiri, maka terjadilah peristiwa alih kode. Tetapi apabila suatu tuturan baik klausa maupun frasa-frasanya terdiri dari klausa dan frasa baster, dan masing-masing klausa maupun frasanya tidak lagi mendukung fungsinya tersendiri, maka akan terjadi peristiwa campur kode. Seperti halnya alih kode, campur kode juga memiliki dua sifat yaitu positif dan negatif. Bersifat positif apabila tidak mengganggu komunikasi dan mengarah ke integrasi. Bersifat negatif apabila mengganggu komunikasi dan mengarah ke interferensi.
Jadi campur kode merupakan penggunaan bahasa lebih dari satu dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam unsur bahasa yang lain. Unsur bahasa tersebut dari tingkat kata sampai klausa. Namun apabila klausa masih mendukung fungsi tersendiri maka masih dikategorikan peristiwa alih kode, apabila tidak mendukung fungsi tersendiri maka dikategorikan dalam peristiwa campur kode.
Tipe Campur kode, yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap (attitudinal type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (linguistic type). Campur kode dapat terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara penutur, bentuk bahasa dan fungsi bahasa Pemilihan bentuk campur kode dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadi di dalam masyarakat.
Penutur melakukan campur kode ada tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh pemakai bahasa. Menurut Suwito (dalam Dwi Sutana, 2000: 11) dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai penutur dengan tuturannya.
Fungsi terjadinya campur kode:
1). penghormatan,
2). menegaskan suatu maksud tertentu,
3) menunjukkan identitas diri
4). memjelaskan pengaruh materi pembicaraan.
5) kepentingan komunikasi
6) hubungan sosial
7) situasi dalam peristiwa tutur
Campur kode adalah pemakaian satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain yang berbentuk kata, frasa, idiom, bentuk baster, pengulangan kata dan klausa. Pemilihan atau penggunaan bahasa dan ragam bahasa tersebut tidak ada maksud tertentu tetapi hanya karena kebiasaan atau mudahnya pengungkapan seorang pengguna bahasa. Campur kode pada umumnya terjadi suasana santai atau terjadi karena faktor kebiasaan. Penggunaan campur kode memiliki fungsi yang berhubungan dengan peranan penggunaan bahasa.

5.      Faktor yang Melatarbelakangi Pemakaian Bahasa
Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 47). Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur jika memenuhi syarat 8 komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING (Dell Hymes dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 47). Ke 8 komponen itu adalah


S = Setting amd Scene
P = Participant
E = End: purpose and goal
A = Act Sequences
K = Key: tone or spirit of act
I = Instrumentalities
N = Norms of Interaction and Interpretation
G = Genres
Setting and Scene. Disini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat dan situasi tuturnya berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda pula.
Participant adalah pihak-pihak yang terlibat dalam tuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar.
End yaitu maksud dan hasil percakapan. Suatu peristiwa tutur itu terjadi pasti maksud dari penutur dan mitra tutur.
Act Sequences yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan. Bentuk pesan mencakup sebagaimana topik itu dituturkan sedangkan isi percakapan ini berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan oleh penutur.
Key yaitu menunjuk pada cara atau semangat (nada/jiwa) dalam melaksanakan percakapan. Tuturan tersebut akan berbeda antara serius dan santai, resmi dan tidak resmi, dan lain sebagainya.
Instrumentalities yaitu menunjuk pada jalur percakapan; apakah secara lisan atau tidak. Jalur percakapan yang digunakan itu dapat melalui lisan, telegraf, telepon, surat dan lain-lain. Percakapan secara lisan dapat seperti berbicara, menyanyi, bersiul dan lain-lain.
Norm yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan. Yang termasuk di dalamnya adalah semua kaidah yang mengatur pertuturan yang bersifat imperatif (memerintah). Misalnya, bagaimana cara berinterupsi, bertanya, berbicara yang sopan dan sebagainya.
Genres yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, jenis penyampaian puisi, narasi, doa dan sebaga

Sabtu, 10 Maret 2012













A.    Hipotesi minor.
  1. A1 VS A2. Antara metode ceramah dengan metode solusi soal
Ho ; Tidak Terdapat Perbedaan Rata-rata nilai pada pelajaran Matematika dengan menggunakan metode Ceramah terhadap metode solusi soal.
Ha : Terdapat Perbedaan Rata-rata nilai pada pelajaran Matematika dengan menggunakan metode Ceramah terhadap metode solusi soal.
Ø  Kaidah
                        Membandingkan Taraf Signifikasi
ü  Jika sign > 0,05, maka Ho diterima
ü  Jika sign < 0,05, maka Ho ditolak


Ø  interprestasi
ü Pada tabel Descriptive memuat : banyaknya data tentang nilai matematika masing-masing untuk metode pelatihan dengan menggunakan metode ceramah=10, metode solusi soal=10, adapun rata-rata nilai matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode ceramah sebesar = 24,800, dan rata-rata nilai matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode solusi soal sebesar =43,600
ü Berdasarkan tabel Post Hoc Test  Multiple Comparions diatas metode ceramah dengan solusi soal diperoleh signifikasi sebesar 0,538>0,05 dan perbedaan rata-rata(mean difference) sebesar -8,000 yang artinya tidak terdapat perbedaan rata-rata nilai matematika antara siswa yang diberikan metode ceramah dan solusi soal. Berdasarkan data di atas menunjukkan nilai rata-rata (mean)kemampuan matematika yang diberikan pelatihan metode ceramah sebesar 42,8000, dan nilai rata-rata yang diberikan metode pelatihan solusi soal sebesar 43,6000, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh /sama antara metode ceramah dengan solusi soal’untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa. Adapun standar error nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode ceramah dengan metode solusi soal sebesar 1.28668, dan  Lower bound nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode ceramah dengan metode solusi soal sebesar -3,4095.  Upper bound nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode ceramah dengan metode solusi soal sebesar 1.8095.
Ø   Kesimpulan
ü Berdasarkan hasil analisis tersebut dengan membandingkan taraf signifikasi  menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan prestasi belajar pada mata pelajaran matematika antara siswa yang diberikan metode ceramah dan metode solusi soal.,maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh /sama antara metode ceramah dengan solusi soal’untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa.
2.      A1 Vs A3.  Antara metode ceramah dengan metode diskusi:
Ho ; Tidak Terdapat Perbedaan Rata-rata nilai pada pelajaran Matematika dengan menggunakan metode Ceramah terhadap metode diskusi.
Ha : Terdapat Perbedaan Rata-rata nilai pada pelajaran Matematika dengan menggunakan metode Ceramah terhadap metode diskusi.

Ø  Kaidah
Membandingkan Taraf Signifikasi
ü  Jika sign > 0,05, maka Ho diterima
ü  Jika sign < 0,05, maka Ho ditolak

Ø  Interprestasi
ü  Pada tabel Descriptive  memuat : banyaknya data tentang nilai matematika masing-masing untuk metode pelatihan dengan menggunakan metode ceramah=10, metode diskusi=10, adapun rata-rata mean nilai matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode ceramah sebesar =24,800, dan rata-rata nilai matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode diskusi sebesar =65,000
ü  Berdasarkan tabel Post Hoc Test  Multiple Comparions diatas metode ceramah dengan diskusi diperoleh signifikasi sebesar 0,000<0,05 dan perbedaan rata-rata (mean difference) sebesar -22,2000 yang artinya terdapat perbedaan rata-rata nilai matematika antara siswa yang diberikan metode ceramah dan diskusi dimana A3 lebih tinggi dari pada A1. Berdasarkan data di atas menunjukkan nilai rata-rata (mean)  matematika yang diberikan metode ceramah sebesar , 42,8000 dan nilai rata-rata matematika yang diberikan metode diskusi’ sebesar 65,000, maka dapat disimpulkan bahwa metode pelatihan diskusi’ lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa dibanding dengan metode ceramah. Adapun standar error nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode ceramah dengan metode diskusi sebesar 1,28668, dan  Lower bound  nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode ceramah dengan metode diskusi sebesar -24,8095 Upper bound nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode ceramah dengan metode diskusi sebesar -19.5905.
Ø  Kesimpulan
ü  Berdasarkan hasil analisis data secara umum rata-rata kemampuan matematika  dilihat dari taraf signifikasi menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemampuan matematika antara siswa yang diberikan metode ceramah dengan metode diskusi.,Sedangkan bila dilihat berdasarkan perbedaan rata-rata mean, dapat diketahui bahwa metode diskusi yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa dibandingkan dengan metode ceramah.
3.      A1Vs A4.  Antara  metode  ceramah dengan kombinasi:
Ho : Tidak Terdapat Perbedaan Rata-rata nilai pada pelajaran Matematika dengan menggunakan metode Ceramah terhadap metode kombinasi.
Ha : Terdapat Perbedaan Rata-rata nilai pada pelajaran Matematika dengan menggunakan metode Ceramah terhadap metode kombinasi.

Ø  Kaidah
Membandingkan Taraf Signifikasi
ü  Jika sign > 0,05, maka Ho diterima
ü  Jika sign < 0,05, maka Ho ditolak

Ø  Interprestasi
ü  Pada tabel Descriptive memuat : banyaknya data tentang nilai matematika masing-masing untuk metode pelatihan dengan menggunakan metode ceramah=10, metode kombinasi=10, adapun rata-rata (mean) nilai matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode ceramah sebesar =24,8000, dan rata-rata nilai matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode kombinasi sebesar =81,000.
ü Berdasarkan tabel Post Hoc Test  Multiple Comparions diatas metode ceramah dengan kombinasi diperoleh signifikasi sebesar 0,000<0,05 dan perbedaan rata-rata (mean difference) sebesar -38,2000 yang artinya terdapat perbedaan rata-rata nilai matematika antara siswa yang diberikan metode ceramah dan kombinasi dimana A4 lebih tinggi dari pada A1. Berdasarkan data di atas menunjukkan nilai rata-rata (mean)matematika yang diberikan metode ceramah  sebesar 24,8000, dan nilai rata-rata kemampuan matematika yang diberikan metode kombinasi sebesar 81,000, maka dapat disimpulkan  bahwa metode pelatihan kombinasi lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa dibanding dengan metode ceramah. Adapun standar error nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode ceramah dengan metode kombinasi sebesar 1,28668, dan Lower bound nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode ceramah dengan metode kombinasi sebesar -40.8095, Upper bound nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode ceramah dengan metode kombinasi sebesar -35.5905.
Ø  Kesimpulan
ü Berdasarkan hasil analisis data secara umum rata-rata kemampuan matematika  dilihat dari taraf signifikasi menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemampuan matematika antara siswa yang diberikan metode ceramah dengan metode kombinasi., Sedangkan bila dilihat berdasarkan perbedaan rata-rata mean dan, dapat diketahui bahwa metode kombinasi yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa dibandingkan dengan metode ceramah.

4.      A2 Vs A3.   Antara metode solusi soal dengan metode diskusi
Ho : Tidak Terdapat Perbedaan Rata-rata nilai pada pelajaran Matematika dengan menggunakan metode solusi soal terhadap metode diskusi.
Ha : Terdapat Perbedaan Rata-rata nilai pada pelajaran Matematika dengan menggunakan metode solusi soal terhadap metode diskusi.
Ø  Kaidah
Membandingkan Taraf Signifikasi
ü  Jika sign > 0,05, maka Ho diterima
ü  Jika sign < 0,05, maka Ho ditolak
Ø  .Interprestasi
ü  Pada tabel Descriptive memuat : banyaknya data tentang prestasi nilai matematika, masing-masing untuk metode pelatihan dengan menggunakan metode solusi soal=10, metode diskusi=10, adapun rata-rata (mean) prestasi belajar siswa mata pelajaran matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode solusi soal sebesar =43,6000, dan rata-rata nilai matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode diskusi sebesar =65,000.
ü  Pada tabel Post Hoc Test Multiple Comparions diatas metode solusi soal dengan diskusi diperoleh signifikasi sebesar 0,000<0,05 dan perbedaan rata-rata (mean difference) sebesar -21,4000 yang artinya terdapat perbedaan rata-rata nilai matematika antara siswa yang diberikan metode solusi soal dan diskusi dimana A3 lebih tinggi dari pada A2 . Berdasarkan data di atas rata-rata (mean) nilai matematika yang diberikan metode solusi soal sebesar 45,6000, dan nilai rata-rata nilai matematika yang diberikan metode diskusi sebesar 65,000, maka dapat disimpulkan bahwa metode diskusi lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa dibanding dengan solusi soal. Adapun standar error nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode solusi soal dengan metode diskusi sebesar 1,28668, dan Lower bound nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode solusi soal dengan metode diskusi sebesar -24,0095, Upper bound nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode solusi soal dengan metode diskusi sebesar -18,7905.
Ø  Kesimpulan
ü Berdasarkan hasil analisis data secara umum rata-rata kemampuan matematika  dilihat dari taraf signifikasi menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemampuan/nilai matematika antara siswa yang diberikan metode solusi soal dengan metode diskusi. Sedangkan bila dilihat berdasarkan perbedaan rata-rata mean, dapat diketahui bahwa metode diskusi yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa dibandingkan dengan metode solusi soal.

5.      . A2 Vs A4.  Antara mtode solusi soal dengan kombinasi
Ho : Tidak Terdapat Perbedaan Rata-rata nilai pada pelajaran Matematika dengan menggunakan metode solusi soal terhadap metode kombinasi.
Ha : Terdapat Perbedaan Rata-rata nilai pada pelajaran Matematika dengan menggunakan metode solusi soal terhadap metode kombinasi.


Ø  Kaidah
Membandingkan Taraf Signifikasi
ü  Jika sign > 0,05, maka Ho diterima
ü  Jika sign < 0,05, maka Ho ditolak
Ø  Interprestasi
ü  Pada tabel Descriptive memuat : banyaknya data tentang nilai matematika masing-masing untuk metode pelatihan dengan menggunakan metode solusi soal=10, metode kombinasi=10, adapun rata-rata (mean) nilai matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode solusi soal sebesar =43,6000, dan rata-rata nilai matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode kombinasi sebesar =81,000.
ü  Pada tabel Post Hoc Test Multiple Comparions diatas metode solusi soal dengan kombinasi diperoleh signifikasi sebesar 0,000<0,05 dan perbedaan rata-rata (mean difference) sebesar -37,4000 yang artinya terdapat perbedaan rata-rata nilai matematika antara siswa yng diberikan metode solusi soal dan kombinasi dimana A4 lebih tinggi dari pada A2 . Berdasarkan data di atas rata-rata (mean) nilai matematika yang diberikan metode solusi soal sebesar 43,6000, dan nilai rata-rata nilai matematika yang diberikan metode kombinasi sebesar 81,000, maka dapat disimpulkan bahwa metode kombinasi lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa dibanding dengan solusi soal. Adapun standar error nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode solusi soal dengan metode kombinasi sebesar 1,28668, dan Lower bound nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode solusi soal dengan metode kombinasi sebesar -40.0095, Upper bound nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode solusi soal dengan metode kombinasi sebesar -34.7905.
Ø  Kesimpulan
ü  Berdasarkan hasil analisis data secara umum rata-rata kemampuan/nilai matematika  dilihat dari taraf signifikasi menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemampuan/nilai matematika antara siswa yang diberikan metode solusi soal dengan metode kombinasi., Sedangkan bila dilihat berdasarkan perbedaan rata-rata mean, dapat diketahui bahwa metode kombinasi yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa dibandingkan dengan metode solusi soal.
6.      A3vs A4 . Antara metode diskusi dengan kombinasi
.Ho : Tidak Terdapat Perbedaan Rata-rata nilai pada pelajaran Matematika dengan menggunakan metode diskusi terhadap metode kombinasi.
Ha : Terdapat Perbedaan Rata-rata nilai pada pelajaran Matematika dengan menggunakan metode diskusi terhadap metode kombinasi

Ø Kaidah
Membandingkan Taraf Signifikasi
ü  Jika sign > 0,05, maka Ho diterima
ü  Jika sign < 0,05, maka Ho ditolak

Ø  Interprestasi
ü  Pada tabel Descriptive memuat : banyaknya data tentang nilai matematika masing-masing untuk metode pelatihan dengan menggunakan metode diskusi= 10, metode kombinasi= 10, adapun rata-rata nilai matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode  diskusi= 65,000, dan rata-rata nilai matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode kombinasi sebesar = 81,000.
ü  Pada tabel Post Hoc Test Multiple Comparions diatas metode diskusi dengan kombinasi diperoleh signifikasi sebesar 0,000<0,05 dan perbedaan rata-rata (mean difference) sebesar -16,0000 yang artinya terdapat perbedaan rata-rata nilai matematika antara siswa yang diberikan metode diskusi dengan kombinasi dimana A4 lebih tinggi dari pada A3.  berdasarkan data di atas rata-rata (mean) nilai matematika yang diberikan metode diskusi  sebesar 65,000, dan nilai rata-rata matematika yang diberikan metode kombinasi sebesar 81,000, maka dapat disimpulkan bahwa  metode kombinasi lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa dibnding dengan metode diskusi. Adapun standar error nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode diskusi dengan metode kombinasi sebesar 1,28668, dan Lower bound nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode diskusi dengan metode kombinasi sebesar -18,6095, Upper bound nilai matematika siswa yang diberikan pelatihan metode diskusi dengan metode kombinasi sebesar -13.,3905,.

Ø  Kesimpulan
ü  Berdasarkan hasil analisis data secara umum rata-rata kemampuan matematika  dilihat dari taraf signifikasi menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemampuan/ nilai matematika antara siswa yang diberikan metode solusi soal dengan metode diskusi., Sedangkan bila dilihat berdasarkan perbedaan rata-rata mean, dapat diketahui bahwa metode kombinasi yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa dibandingkan dengan metode diskusi.

B.     Hipotesis mayor

Ø  Hipotesis
HO: variansi kelompok populasi adalah sama
HA: variansi kelompok populasi adalah berbeda          
Ø  Berdasarkan data tersebut maka dapat di lakukan pengujian hipotesis dengan membandingkan taraf signifikansinyadan diperoleh nilai signifikansi sebesar = 0,798 ? 0,05, karena signifikansinya lebih besar dari yang di tetapkan maka HO di terima dan HA ditolak, artinya ke empat (4) fariansi kelompok adalah sama Setelah variansi keempat kelompok adalah sama, kemudian di lanjutkan dengan UJI ANOVA untuk mengetahui apakah keempat metode pelatihan matematika itu mempunyai efektifitas yang sama atau berbeda yang akan di buktikan dengan cara pengujian hipotesis.

HO: tidak dapat perbedaan rata-rata prestasi belajar pada mata pelajaran matematika antawa siswa yang di beri pelatihan denagn metode ceramah, solusi soal, diskusi dam kombinasi.
HA: terdapat perbedaan rata-rata prestasi belajar pada mata pelajaran matematika dengan metode ceramah, solusi soal, diskusi dan kombinasi.

Ø  kaidah
Berdasarkan data diatas maka dapat dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan cara membandingkan taraf signifikansi dengan galatny.
Ø Jika sign > 0,05, maka Ho diterima
Ø Jika sign < 0,05, maka Ho ditolak
Ø  Berdasarkan table anova di peroleh signifikansi 0,000 ? 0,05, maka HO ditolak dan HA di terima, artinya terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang di beri pelatihan dengan metode ceramah, solusi soal, diskusi dan kombinasi. Dan perbedaan rata-rata (mean difference) dapat dilihat di bawah ini.

C.    SINTERPRETASI
Ø  Pada table deskriptiv memuat : banyaknya data tentang prestasi nilai matematika masing-masing dengan menggunakan metode ceramah =10. Metode solusi soal =10. Metode diskusi =10. Dan mitode kombinasi = 10. Adapun data ata-rata (mean) prestasi nilai matematika yang di beri pelatihan dengan menggunakan metode ceramah sebesar = 42,800, rata-rat (mean) prestasi nilai matematika yang di beri pelatihan dengan menggunakan metode sosusi soal sebesar = 43,600, rata-rata (mean) nilai matematika yang di beri pelatihan dengan menggunakan metode diskusi sebesar =65,000, dan rata-rat (mean) prestasi belajar siswa yang di peri pelatihan dengan menggunakan metode kombinasi sebesar = 81,000.
Ø  Pada table tes of homogeneity of fariances memuat data analisis uji kehomogenan varian populasi dan taraf signifikan.
Ø  Pada table post hoc-SCHEFFE di gunakan untuk mengetahui perbedaan
Rata-rata (mean difference) kemampuan matematika antara siswa yang di berikan metode ceramah, solusi soal, diskusi dan kombinasi adan perbedaan rata-rata (mean difference) tersebut dapat dilihat di bawah ini.
Ø Berdasarkan analisis dari post hoc Tes pada table multiple comparation, maka dapat di interpretasikan sebagai berikut..
a. Perbedaan rata-rata kememapuan matematika antara siswa yang di berikan pelatihan dengan metode ceramah dan solusi soal sebesaar = -0,800. Hal ini menunjikkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemampuan matematika antara siswa yang di beri pelatihan dengan metode ceramah dan metode solusi aoal. Berdasarkan nilai rata-rata kemampuan matematika siswa yang di berikan pelatihan metode ceramah sebesar = 24,800, dan nilai kemampuan rata-rata marematika siswa yang di beri pelatihan metode solusi soal sebesar = 43,600, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan metode ceramah tidak efektif untuk meningkatkan kemampuan matemaatika siswa di bandingkan dengan metode solusi soal.
b. Perbedaan rata-rata kemampuan matematika antara siswa yang di beri pelatihan dengan metode ceramah dengan metode diskusi sebesar = -22,200, hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan  rata-rata kemampuan matematika antara siswa yang di berikan pelatihan denagn metode ceramah denagn metode diskusi. Berdasarkan nilai rata-rata kemampuan matematika siswa yang di berikan pelatihan metode ceramah sebesar = 24,800,  dan nilai rata-rata kmampuan matematika siswa yang di beri pelatihan metode diskusi sebesar = 65,000, maka dapat disimpulkan bahwa metode pelatihan diskusi lebih efektif untu meningkatkan kemampuan matematika siswa di bandingkan dengan metode ceramah.
c. Perbedaan rata-rata kemampuan matematika antara siswa yang di beri pelatihan dengan metode ceramah dengan metode kombinasi sebesar = -38,200 hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemapuan matematika antara siswa yang di berikan pelatihan denagn metode ceramah denagn metode kombinasi. Berdasarkan nilai rata-rata kemampuan matematika siswa yang di berikan pelatihan metode ceramah sebesar = 24,800  dan nilai rata-rata kmampuan matematika siswa yang di beri pelatihan metode kombinasi sebesar = 81,000 maka dapat disimpulkan bahwa metode pelatihan diskusi lebih efektif untu meningkatkan kemampuan matematika siswa di bandingkan dengan metode kombinasi.
d.  Perbedaan rata-rata kemampuan matematika antara siswa yang di beri pelatihan dengan metode solusi soal dengan metode diskusi sebesar = -21,400 hal ini menunjukkan bahwa terdapat signifikan yang rata-rata kemapuan matematika antara siswa yang di berikan pelatihan denagn metode ceramah denagn metode diskusi. Berdasarkan nilai rata-rata kemampuan matematika siswa yang di berikan pelatihan metode solusi soal sebesar = 43,600  dan nilai rata-rata kmampuan matematika siswa yang di beri pelatihan metode diskusi sebesar = 65,000 maka dapat disimpulkan bahwa metode pelatihan diskusi lebih efektif untu meningkatkan kemampuan matematika siswa di bandingkan dengan metode solusi soal.
e. Perbedaan rata-rata kemampuan matematika antara siswa yang di beri pelatihan dengan metode solusi soal dengan metode kombinasi sebesar = -37,400, hal ini menunjukkan bahwa terdapat signifikan yang rata-rata kemapuan matematika antara siswa yang di berikan pelatihan denagn metode ceramah denagn metode diskusi. Berdasarkan nilai rata-rata kemampuan matematika siswa yang di berikan pelatihan metode solusi soal sebesar = 43,600  dan nilai rata-rata kmampuan matematika siswa yang di beri pelatihan metode kombinasi sebesar = 81,000 maka dapat disimpulkan bahwa metode pelatihan kombinai lebih efektif untu meningkatkan kemampuan matematika siswa di bandingkan dengan metode solusi soal.
f . Perbedaan rata-rata kemampuan matematika antara siswa yang di beri pelatihan dengan  metode kombinasi dengan metode diskusi sebesar = 16,000 hal ini menunjukkan bahwa terdapat signifikan yang rata-rata kemapuan matematika antara siswa yang di berikan pelatihan denagn metode ceramah denagn metode diskusi. Berdasarkan nilai rata-rata kemampuan matematika siswa yang di berikan pelatihan metode diskusi sebesar = 65,000,  dan nilai rata-rata kmampuan matematika siswa yang di beri pelatihan metode kombinasi sebesar = 81,000 maka dapat disimpulkan bahwa metode pelatihan kombinsi lebih efektif untu meningkatkan kemampuan matematika siswa di bandingkan dengan metode diskusi.

  1. Kesimpulan data mayor
Ø  Berdasarkan hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum rata-rata nilai pada pelajaran Matematika antara siswa yang diberikan metode Ceramah, Solusi Soal, Diskusi, dan Kombinasi adalah berbeda atau dengan kata lain terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata nilai pada pelajaran Matematika antara siswa yang diberikan pelatihan dengan metode Ceramah, Solusi Soal, Diskusi, dan Kombinasi.
Ø  Sedangkan bila dilihat berdasarkan perbedaan rata-rata (Mean Difference) nilai Matematika antara siswa yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode Ceramah dengan metode Solusi Soal dengan metode Diskusi dan metode Kombinasi.
Maka dapat diketahui bahwa metode Kombinasi yang paling efektif untuk meningkatkan nilai matematika siswa dibandingkan dengan metode Ceramah, Solusi Soal, Diskusi. Jika dilihat dari tingkat keefektifannya untuk meningkatkan nilai pada pelajaran Matematika maka dapat di urutkan mulai dari metode yang paling tidak efektif yaitu metode Ceramah, Solusi Soal, Diskusi dan yang paling efektif adalah metode Kombinasi.
Ø  Berdasar analisis ini, maka dalam rangka meningkatkan nilai Matematika dianjurkan untuk menggunakan metode Kombinasi, karena telah terbukti keefektifannya untuk meningkatkan nilai pada pelajaran Matematika dibandingkan dengan metode Ceramah, Solusi Soal, dan Diskusi.

    II.      Kesimpulan Data Mayor
Ø  Berdasarkan hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum rata-rata kemampuan matematika yang diberikan pelatihan dengan metode ceramah, solusi soal, diskusi,  dan kombinasi, adalah berbeda atau dengan kata lain  terdapat perbedaan yang signifikasi rata-rata kemampuan matematika yang diberikan pelatihan dengan menggunakan metode ceramah, solusi soal, diskusi,  dan kombinasi’. Sedangkan bila dilihat berdasarkan perbedaan rata-rata (mean) tabel descriptives kemampuan matematika yang diberikan metode ceramah, solusi soal, diskusi,  dan kombinasi’, maka dapat diketahui bahwa metode kombinasi yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa dibandingkan dengan metode ceramah, solusi soaldan diskusi’.
   III.      Kesimpulan keseluruhan Data Minor Dan Mayor
Ø  Jika dilihat dari data mayor dan minor saya dapat menyimpulkan keseluruan, bahwa dalam rangka  meningkatkan kemapuan matematika siswa dianjurkan untuk menggunakan metode kombinasi karena metode kombinasi terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan/nilai matematika siswa dibandingkan dengan metode ceramah, solusi soal, dan diskusi’.